Penyelesaian Pidana Oleh Anggota Tentara Nasional Indonesia Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Terhadap Warga sipil
Keywords:
Anggota TNI, Penganiayaan, Tindak Pidana, Warga SipilAbstract
Kejahatan yang dilakukan terhadap warga sipil oleh anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mengakibatkan luka fisik atau kerugian materiil atau material terhadap warga sipil (korban) sangatlah merugikan karena seharusnya peran tersebut tidak dilakukan oleh anggota TNI. Masyarakat sipil bahkan TNI tidak perlu memberikan contoh buruk dalam perilakunya yang mengubah atau mencoreng citra TNI, karena perilaku mereka yang kurang terpuji adalah melakukan tindak pidana terhadap warga sipil dan atasannya (ANKUM) memberikan hukuman yang berat, prosesnya diatur dengan undang-undang. Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997, ketika terbukti oknum TNI melakukan tindak pidana dalam penanganan perkara militer di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode pustakayang lebih dikenal dengan metode penelitian normatif, yaitu kajian yang didasarkan pada pembacaan buku-buku, undang-undang, jurnal dan pendapat para ahli hukum dan akademisi ilmiah yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas di sini. Penelitian ini bagaimana penyelesaian pidana anggota Tentara Nasional Indonesia atas penganiayaan terhadap warga sipil, yaitu pada dasarnya didefinisikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang Perang Nomor 31 Tahun 1997. Sikap prajurit yang masih apatis nampaknya berbeda dari warga sipil biasa. Dalam putusan nomor: 42-K/PM.1-02/AD/IV/2018, pelaku melakukan hal tersebut karena merasa dibenci oleh korban. Pelanggaran yang dilakukan oleh TNI AD biasanya ditangani melalui pengadilan militer, karena TNI memiliki pengadilan khusus yang terpisah dari masyarakat sipil dan pejabat pemerintah, polisi atau pihak lainnya.
Hambatan yang relevan adalah perspektif hukum. Beberapa kendala hukum yang dihadapi hakim militer ketika memutuskan apakah akan menjatuhkan hukuman pemecatan mencakup hambatan teoritis dan peraturan hukum. Dari sudut pandang teoritis, penerapan hukuman mati bertentangan dengan pemahaman atau ajaran teori abolisionis bahwa hukuman pemecatan sebenarnya tidak dapat mencapai tujuan hukuman matimeskipun itu bukan hukuman pemecatan melainkan alternatif. Hukuman di alam gugup. Itu sebabnya hakim masih bisa menjatuhkan hukuman pidana kepada terpidana